Senin, 05 April 2010

INTERNALISASI NILAI-NILAI ISLAM

INTERNALISASI NILAI-NILAI ISLAM
DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


Pendahuluan

Kesadaran akan kebutuhan pendidikan kini cenderung meningkat. Pendidikan secara universal dapat dipahami sebagai upaya pengembangan potensi kemanusiaan secara utuh dan penanaman nilai-nilai sosial budaya yang diyakini oleh masyarakat akan dapat mempertahankan hidup dan kehidupan secara layak. Secara sederhana pendidikan dapat dipahami sebagai suatu proses yang diperlukan untuk mendapatkan keseimbangan dan kesempurnaan dalam mengembangkan manusia.
Dewasa ini penyelenggaraan pendidikan anak usia dini mendapat perhatian khusus baik dari pemerintah maupun pemerhati pendidikan. Pendidikan anak usia dini sangat penting, mengingat potensi kecerdasan dan dasar-dasar seseorang terbentuk pada rentang usia ini, sehingga usia dini sering disebut sebagai the golden age (usia emas).
Agar pendidikan anak usia dini memenuhi hak-hak anak, maka diperlukan sebuah kurikulum yang beragam yang dapat mengembangkan segala potensi anak. Potensi-potensi tersebut harus dikembangkan secara seimbang tidak saja pada kecerdasan intelektual (IQ) tetapi juga kecerdasan emosional (EQ) serta kecerdasan spiritual (SQ).
Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional semata tidak akan membawa anak kelak dikemudian hari berhasil dalam kehidupanya, namun harus dibarengi dengan pemahaman agama Islam (Kecerdasan Spiritual SQ) yang memadai yang akan membawa anak seimbang dan berhasil dalam kehidupanya kelak.
Pembahasan
1. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Internalisasi dimaknai dengan penghayatan; penguasaan secara mendalam lewat penyuluhan , penataran dsb. Sedangkan Nilai-Nilai Keagamaan dijelaskan sebagai konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikat oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok di kehidupan keagamaan yang bersifat suci, sehingga dijadikan pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan.
Jadi makna Internalisasi nilai-nilai Islam dalam pendidikan anak usia dini adalah proses penghayatan atau penguasaan secara mendalam tentang nilai-nilai Islam yang dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku keagamaan melalui pendidikan dan pengajaran.
2. Periode Emas (golden ege)
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun. Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak
3. Anak adalah Amanat Orang Tua
Anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya, kewajiban orang tua memberikan pendidikan kepada anak merupakan urusan yang sangat berharga dan menempati prioritas tertinggi. Kalbu seorang anak yang masih bersih bak permata yang tak ternilai harganya, bila ia dididik dan dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik, sebaliknya bila ia dididik dan dibiasakan dengan perbuatan jelek, maka ia akan menjadi orang yang merugi dan celaka dunia akhirat.
Menurut pandangan Islam mengenai hak anak dalam mendapatkan pendidikan sebetulnya terkait erat dengan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Orang tua berkewajiban memberikan perhatian kepada anak dan dituntut untuk tidak lalai dalam mendidiknya. Jika anak merupakan amanah dari Allah SWT, maka otomatis mendidiknya termasuk bagian dari menunaikan amanah-Nya. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk khianat terhadap amanah Allah SWT (QS. An-Nisa: 58).
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Sebagaimana mengenai pentingnya menunaikan "amanah" dipertegas juga dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Buhari: "Barangsiapa diberi amanah oleh Allah, lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya ia dalam keadaan mengkhinati amanahnya, niscaya Allah mengharamkan surga baginya". Dari riwayat lain, Ibnul Qayyim berkata, "Barangsiapa yang melalaikan pendidikan anaknya serta meninggalkannya secara sia-sia, berarti ia telah berbuat yang terburuk".

4. Pendidikan Anak Usia Dini berbaisis Islam

Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk generasi berkualitas pemimpin, yakni (1) berkepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, dan (3) menguasai ilmu kehidupan (sains dan teknologi) yang memadai. Apabila ke tiga tujuan ini tercapai, maka akan terwujudlah generasi pemimpin yang individunya memiliki ciri sebagai insan yang sholeh/sholehah, sehat, cerdas dan peduli bangsa.
Upaya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam ini sangat erat kaitannya dengan sistem hidup Islam. Sebagai bagian yang menyatu (integral) dari sistem kehidupan Islam, pendidikan memperoleh masukan dari supra sistem, yakni keluarga dan masyarakat dan atau lingkungan, dan memberikan hasil/keluaran bagi suprasistem tersebut. Sementara sub-sub sistem yang membentuk sistem pendidikan antara lain adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik, manajemen, struktur dan jadwal waktu, materi, tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana, alat bantu belajar, teknologi, fasilitas, kendali mutu, penelitian dan biaya pendidikan.
Dr.Art-Ong Jumsai Na-Ayudha dalam seminar Internasional mengemukakan 9 model pembelajaran Nilai-nilai Kemanusiaan Terpadu.[1] Dr.Art-Ong Jumsai Na-Ayudha menuliskan sebuah konsep tentang tujuan model pembelajaran yang menerapkan nilai dengan menggunakan suku kata EDUCATION yang maknanya adalah sebagai berikut:
1. E (Enlightenment) atau pencerahan. Ini adalah proses pencapaian pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.
2. D (Duty and Devotion) atau tugas dan pengabdian. Pendidikan harus membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.
3. U (Understanding) atau pemahaman. Ini bukan hanya mengenai pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum tetapi juga penting untuk memahami diri sendiri.
4. C (Character) atau karakter. Guru mesti membentuk karekter yang baik pada diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa Kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajatran di kelas.
5. A (Action) atau tindakan. Para siswa kini belajar dengan giat dan menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian dan keluar dengan kepala kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh tidak diterapkan dalam tindakan. Pendidikan seperti itu tak berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam praktek.
Model pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan anatara yang dipelajari dan situasi nyata dalam hidup. Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam hidup mereka sendiri.
6. T (Thanking) atau berterima kasih. Siswa mesti belajar berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu mereka. Di atas segalanya adalah orang tua yang telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswaharus mengasihi dan menghormati orang tua mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada guru-guru, karena siswa memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan melalui guru-guru. Maka siswa mesti mengasihi dan menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan banyak hal dari masyarakat, dari bangsa, dari dunia, dan alam. Siswa mesti selalu berterima kasih kepada semua hal.
7. I (Integrity) atau Integritas. Integritas adalah sifat jujur dan karakter menjunjung kejujuran. Siswa mesti tumbuh menjadi sesorang yang memiliki integritas, yang bisa dipercaya unutk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
8. O (Oneness) atau kesatuan. Pendidikan mesti membantu siswa melihat kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda, warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti belajar hidup damai dan harmonis dengan alam.
9. N (Nobility) atau kemuliaan. Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi muncul dari sebuah proses penjang yaitu pendidikan. Jadi, kemuliaan merupakan akumulasi yang terdiri dari semua nilai-nilai yang tersebut diatas.

H. Mas‘oed Abidin dalam tulisannya “ Mengembangkan Moral dan Nilai-Nilai Agama Islam pada Pendidikan Anak Usia Dini”[2] menjelaskan upaya yang mesti dilakukan untuk pembelajaran anak usia dini antara lain adalah:
1. Pendidikan dengan Nuansa Masjid/Surau
Masjid dan Surau adalah suatu institusi yang khas bagi umat masyarakat Islam, fungsinya bukan hanya sekedar sebagai tempat shalat, tetapi juga sebagai tempat melaksanakan pendidikan bagi anak-anak. Terdapat enam unsur yang perlu diperhatikan untuk membentuk anak menjadi mandiri dan berprestasi dalam pendidikan bernuansa surau antara lain:
1). Iman,
2). Ilmu,
3). Kerukunan, Ukhuwah dan Interaksi,
4). Akhlaq, Moralitas sebagai Kekuatan Ruhiyah,
5) . Sikap Gotong-royang (Ta‘awun), dan
6) Menjaga lingkungan sebagai Sosial Capital, menerapkan Teknologi
2. Mengajak, Mendidik dan Mengamalkan Islam
Peran guru dalam mendidik anak usia dini adalah ibarat memberikan tetesan air di padang gersang, yang akan memberikan harapan kesejukan. Tugas guru semestinya dilaksanakan dengan penuh keikhlasan sebagai suatu pengabdian mulia yang hanya mengharapkan keridhoan Allah semata.
Keikhlasan yang diberikan guru akan membentuk umat jadi pintar, beriman, berahklaq, berilmu, beramal baik, membina diri, kemaslahatan umat dan keluarga, menjadi panutan, ibadahnya teratur, shaleh pribadi dan sosial, beraqidah tauhid yang shahih dan istiqomah.
3. Meneladani Pribadi Nabi Muhammad SAW
Para Guru hendaknya dalam keseharian dalam pembelajaran selalu meneladani kehidupan Nabi yakni: Akhlaq Islami, Aqidah Tauhid yang shahih, kesalehan dan keyakinan kepada hari akhirat. Dalam Surat Al Ahzab ayat 21 dijelaskan :
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Tidak diragukan lagi bahwa guru mualim yang punya kepribadian baik serta uswah hidup yang terpuji akan mampu melukiskan kesan positif dalam diri anak. Alat teknologi modern tidak akan pernah mampu mengambil alih peranan guru dalam pematangan sikap pribadi anak. Sifat-sifat guru yang dituntut bagi anak usia dini adalah memiliki sifat jujur, menepati janji dan amanah, ikhlas dalam perkataan dan perbuatan, merendah diri (tawadhu‘), sabar, tabah, cekatan, lapang dada, pemaaf dan toleransi, menyayangi murid dan mengutamakan kepentingan orang banyak dengan sikap pemurah dan berani bertindak.
5. Jenis Permainan yang Islami
Sebagian besar ahli pendidikan telah bersepakat tentang pentingnya bermain, serta peranannya dalam menumbuhkan potensi anak baik jasmani, intelektual, tingkah laku maupun sosial. Dalam bidang pengembangan intelektual anak, hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak kecil yang memiliki kesempatan untuk bermain, pertumbuhan intelektualnya lebih cepat dan lebih berkembang daripada mereka yang tidak diberi kesempatan dan peluang[3]
Jenis permainan yang dipandang Islami yakni yang disyariatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan memperhatikan hokum-hukum syara’, antara lai :
a. Meloncat-loncat atau menari, jenis permainan ini kususnya untuk anak laki-laki, Rasulullah saw melakukan bermain dan menari dengan tombak pada acara hari raya dan pada kesempatan-kesempatan tertentu. Rasulullah saw melakukan jenis permainan ini di masjid. Permainan ini mengandung unsur kejantanan dan kepahlawanan.
b. Berlari-lari, Rasulullah saw pernah melakukan bersama Siti Aisyah pada saat melakukan perjalanan. Telah disebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah membariskan putra-putra Abbas r.a., mendorong mereka untuk berlomba saling mendahului, lalu beliau meberikan hadiah. Permainan ini untuk membangkitkan semangat bersaing dengan sehat diantara anak-anak. Saling member hadiah mempunyai pengaruh yang baik terhadap anak.[4]
c. Piknik/Karya Wisata, permainan ini sangat baik bagi anak-anak dengan tujuan agar anak mengenal dunia sekelilingnya. Hal lain anak-anak akan merasa senang dan gembira dengan piknik, disisi lain akan meningkatkan kepekaan social, kebersamaan, kekompakan, peka terhadap lingkungannya.
d. Menulis, Berenang dan Memanah Rasulullah saw bersabda, “Hak anak dari seseorang ayahnya ialah hendaknya ayah mengajarkannya menulis, berenang dan memanah, dan member rizki yang halal.” (HR at-Tirmidzi). Menulis, berenag dan memanah merupakan tiga jenis permainan yang intinya mengembangkan keseimbangan perkembangan otak kiri dan otak kanan. Menulis, berenang dan memanah adalah suatu kegiatan motorik kasar dan berinteraksi langsung dengan kemampuan otak kiri dan otak kanan.
e. Bermain boneka, Siti Aisyah r.a pada masa kecilnya memiliki mainan yaitu boneka kuda-kudaan, dan Rasulullah tidak melarangnya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud. Berdasarkan hadits memberikan mainan berupa boneka tidak dilarang, orang tua hendaknya memilihkan mainan boneka khususnya untuk anak-anak perempuan.
f. Bermain Ayun-ayunan, Permainan tersebut termasuk permainan yang diperbolahkan dan pernah ada pada masa Rasulullah saw. Dalam satu riwayat yang diterangkan oleh Imam Baihaqi dinyatakan bahwa Siti Aisyah r.a. pernah bermain ayun-ayunan sebelum Nabi saw. Tidur bersama dengannya. Jenis permainan ini khususnya untuk anak laki-laki.
g. Bermain Pasir, jenis permainan ini adalah jenis permainan yang sangat disukai anak-anak tanpa rasa bosan. Jenis permainan ini termasuk permainan yang diperbolehkan secara syariat. Ada satu riwayat bahwa Rasulullah saw. Melewati anak-anak yang sedang bermain-main dengan pasir, sebagian sahabat mencoba melarang mereka, lalu Rasulullah saw. Mengatakan: “Biarkan mereka, karena pasir adalah temannya anak-anak”.
h. Melukis/Mewarnai, termasuk juga yang diperbolehkan yang penting yang dilukis adalah mahluk tidak bernyawa.
Berdasarkan uraian diatas bahwa jenis permainan yang disyariatkan oleh Islam ternyata banyak pilihan dan banyak pula manfaatnya bagi perkembangan kecerdasan anak. Jenis-jenis permainan tersebut anak akan berkembang seluruh potensinya, disamping memenuhi kegemaran atau kegembiraannya sewaktu bermain. Dengan bermaian anak akan merasakan suasana bebas, lepas dari suatu tekanan-tekanan tertentu.
6. Pembinaan Kepribadian pada Anak
Kepribadian yang seimbang mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individu anak. Kepribadian ini tidak akan sempurna kecuali jika diarahkan, dibina dan dibimbing dari segala aspeknya.[5] Aspek-aspek kepribadian yang dibina antar lain:
a. Pembinaan Aqidah
1. Mengajarkan anak dengan Kalimat Tauhid
2. Mencintai Allah, dan merasa diawasi oleh-Nya
3. Menanamkan kecintaan terhadap Nabi
4. Mengajarkan Al Qur’an
5. Menanamkan kerelaan berkorban.
b. Pembinaan Ibadah
1. Mengajarkan Shalat
2. Mendatangi Masjid/Surau
3. Membelajarkan Puasa
4. Membelajarkan Haji
5. Membelajarkan Zakat
c. Pembinaan Kemasyarakatan
1. Mengajak anak mendatangi majlis
2. Menyuruh anak melaksanakan tugas rumah
3. Membiasakan mengucapkan salam
4. Menjenguk anak yang sakit
5. Menghadiri acara perayaan atau hari besar agama
d. Pembinaan Moral
1. Mengajarkan Adab Sopan Santun
2. Mengajarkan Kejujuran
3. Mengajarkan Menjaga Rahasia
4. Mengajarkan Menjaga Amanah
5. Mengajarkan lapang dada, Tidak mendengki.
e. Pembinaan Perasaan
1. Ciuman kasih saying kepada anak-anak
2. Bermain dan bercanda
3. Hadian dan penghargaan
4. Membelai kepala anak
5. Menyambut akan dengan baik
6. Mencari tahu keadaan anak dan menanyakanya
f. Pembinaan Jasmani
1. Berenang
2. Berlari
3. Melompat
4. Perlombaan
g. Pembinaan Intelektual
1. Menanamkan kecintaan terhadap ilmu
2. Tugas hafalam terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
3. Mengajarkan Bahasa Asing
4. Membimbing anak sesuai dengan keahlianya
5. Pemanfaatan perpustakaan
h. Pembinaan Kesehatan
1. Berenang
2. Bermain
3. Memotong Kuku
4. Bersiwak
5. Membiasakan Berdo’a ketika makan dan minum
6. Tidur berbaring pada sisi kanan dan Tidur sesudah Isya’
7. Pengobatan alami/Herbal yang disunahkan Nabi saw.
7. Manfaat dan nilai-nilai permainan bagi Anak
Bermain bai akan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan, dan anak tidak akan pernah bosan dengan permainannya. Bermain bagi anak memiliki manfaat dan nilai-nilai.[6] Manfaat dan nilai-nilai tersebut antara lain :
a. Nilai-nilai Jasmaniah (fisik)
Permainan yang efektif merupakan suatu yang mendesak bagi pertumbuhan otot-otot anak. Melalui permainan ini anak akan belajar bebrbagai ketrampilan.
b. Nilai Pendidikan
Melalui permainan anak akan belajar mengenal banyak hal tentang berbagai peralatan. Ia juga akan belajar mengenal berbagai bentuk dan warna serta mengenal ukuran. Melalui hal ini seringkali anak akan juga memperoleh berbagai informasi yang tidak bias ia dapatkan melalui sarana lain.
c. Nilai Kemasyarakatan (sosial)
Melalui permainan ini, anak akan belajar bagaimana membangun hubungan sosial kemasyarakatan dengan orang lain dan bagaimana berinteraksi dengan mereka secara baik. Ia juga bias belajar bekerjasama dan bergaul dengan orang dewasa dengan cara member dan menerima.
d. Nilai Akhlak (moral)
Melalui permainan ini anak bisa belajar dasar-dsar konsep salah dan benar, sebagaimana juga ia belajar mengenai sebagian dari timbangan-timbangan akhlak, seperti keadilan, kejujuran, amanah, menahan diri, serta spririt sportifitas.
e. Nilai Kreativitas (Inovasi)
Melalui permainan anak juga bisa mengekspresikan potensi-potensi kreativitasnya serta mengeksperimenkan gagasan-gagasan yang dimilikinya.
f. Nilai Personalitas
Melalui permainan, anak juga bias menyingkap banyak hal mengenai personalitas dan identitas jati dirinya, seperti mengetahui kemampuan dan kecakapannya dengan cara berinteraksi dengan teman-teman lain dan membandingkan mereka dengan dirinya. Disamping itu anak juga bisa belajar berbagai persoalannya dan bagaimana cara mengatasinya.
g. Nilai Kuratif
Melalui permainan, seorang anak bias melenyapkan ketegangan yang justru akan melahirkan berbagai keterbelakangan. Oleh karena itu kita temukan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang penuh dengan belenggu, perintah dan larangan akan melakukan kegiatan permainan yang lebih banyak daripada anak-anak yang lainya. Permainan juga menjadi salah satu sarana terbaik untuk menghilangkan rasa permusuhan.

Penutup
Internalisasi nilai-nilai Islam dalam pendidikan anak usia dini menjadi sangat strategis karena merupakan proses penghayatan atau penguasaan secara mendalam tentang nilai-nilai Islam yang dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku keagamaan melalui pendidikan dan pengajaran.
Internalisasi atau penghayatan/penguasaan nilai nilai islam dapat dimulai dengan jenis-jenis permainan yang sudah disyariatkan oleh Nabi Muhammad saw. Yang penting orang tua mengawasi jenis-jenis permainan yang dilakukan anak, karena setiap jenis permainan akan memiliki dampak pada perkembangan kejiwaan anak dikemudian hari.
Untuk itu sebagai guru ataupun orang tua juga harus membekali pada pembinaan kepribadian anak tentang aqidah, ibadah, hubungan kemasyarakatan, moral, Perasaan (kepekaan rasa), Kesehatan Jasmani, Intelektual dan Kesehatan anak.
Sehingga anak dikemudian hari akan seimbang perkembangannya baik keceerasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) maupun Kecerdasan Spiritualnya (SQ). Pada giliranya anak akan siap mengadapi dunianya baik pada pengelolaan peluang-peluang maupun tantangan-tantangan dalam kehidupanya.
[1] http://sofyanpu.blogspot.com. Pembelajaran nilai etika untuk anak usia dini.
[2] http://www.pnfi.depdiknas.go.id.
[3] Adnan Hasan Shalih Baharits. Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki, 1990), h. 359
[4] Muhammad Suwaid. Mendidik Anak bersama Nabi, 2009), h. 261
[5] Muhammad Suwaid. Mendidik Anak bersama Nabi, 2009), h. 311
[6] Ibid, h. 311

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya