Sabtu, 15 Mei 2010

REFORMASI PENDIDIKAN
Internalisasi Nilai-Nilai Islam dalam Membangun Karakter Anak Usia Dini

A. Pendahuluan
“jadilah kamu berilmu yang mengajarkan ilmunya, atau belajar, atau menjadi pendengar. Dan, jangan menjadi kelompok keempat, yang tidak memiliki aktifitias keilmuan sama sekali. Yakni, tidak mengajar, tidak belajar, serta enggan pula untuk mendengar”. (H. Mas’oed Abidin).
Kesadaran akan kebutuhan pendidikan kini cenderung meningkat. Pendidikan secara universal dapat dipahami sebagai upaya pengembangan potensi kemanusiaan secara utuh dan penanaman nilai-nilai sosial budaya yang diyakini oleh masyarakat akan dapat mempertahankan hidup dan kehidupan secara layak. Secara sederhana pendidikan dapat dipahami sebagai suatu proses yang diperlukan untuk mendapatkan keseimbangan dan kesempurnaan dalam mengembangkan manusia.
Dewasa ini penyelenggaraan pendidikan anak usia dini mendapat perhatian khusus baik dari pemerintah maupun pemerhati pendidikan. Pendidikan anak usia dini sangat penting, mengingat potensi kecerdasan dan dasar-dasar seseorang terbentuk pada rentang usia ini, sehingga usia dini sering disebut sebagai the golden age (usia emas).
Agar pendidikan anak usia dini memenuhi hak-hak anak, maka diperlukan sebuah kurikulum yang beragam yang dapat mengembangkan segala potensi anak. Potensi-potensi tersebut harus dikembangkan secara seimbang tidak saja pada kecerdasan intelektual (IQ) tetapi juga kecerdasan emosional (EQ) serta kecerdasan spiritual (SQ).
Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional semata tidak akan membawa anak kelak dikemudian hari berhasil dalam kehidupanya, namun harus dibarengi dengan pemahaman agama Islam (Kecerdasan Spiritual SQ) yang memadai yang akan membawa anak seimbang kepribadiannya dan berhasil dalam kehidupanya kelak.
Makalah ini mencoba menyuguhkan beberapa pilihan pendekatan pembelajaran khususnya untuk memaksimalkan kecerdasan spiritual (SQ) pada anak usia dini. Secara rinci diuraikan mengenai periode emas anak, anak sebagai amanat, kecerdasan IQ, EQ dan SQ serta Teknologi Otak, Pengembangan moral dan nilai agama, jenis permainan yang disyariatkan, manfaat permainan bagi anak, dan pembinaan kepribadian pada anak.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Internalisasi dimaknai dengan penghayatan; penguasaan secara mendalam lewat penyuluhan , penataran dsb. Sedangkan Nilai-Nilai Keagamaan dijelaskan sebagai konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok di kehidupan keagamaan yang bersifat suci, sehingga dijadikan pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan. Sedangkan Karakter dimaknai sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.
Jadi makna Internalisasi nilai-nilai Islam dalam membangun karakter anak usia dini adalah proses penghayatan atau penguasaan secara mendalam tentang nilai-nilai Islam yang dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku keagamaan melalui pendidikan dan pengajaran sehingga memiliki sifat-sifat kejiwaan dan akhlak serta budi pekerti yang berkontribusi positif dalam kehidupannya.
2. Periode Emas Anak (golden ege)
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004) .
Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewatkan berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk anak usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak
3. Anak sebagai Amanat
Anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya, kewajiban orang tua memberikan pendidikan kepada anak merupakan urusan yang sangat berharga dan menempati prioritas tertinggi. Kalbu seorang anak yang masih bersih bak permata yang tak ternilai harganya, bila ia dididik dan dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik, sebaliknya bila ia dididik dan dibiasakan dengan perbuatan jelek, maka ia akan menjadi orang yang merugi dan celaka dunia akhirat.
Menurut pandangan Islam mengenai hak anak dalam mendapatkan pendidikan sebetulnya terkait erat dengan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Orang tua berkewajiban memberikan perhatian kepada anak dan dituntut untuk tidak lalai dalam mendidiknya. Jika anak merupakan amanah dari Allah SWT, maka otomatis mendidiknya termasuk bagian dari menunaikan amanah-Nya. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk khianat terhadap amanah Allah SWT (QS. An-Nisa: 58).
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Sebagaimana mengenai pentingnya menunaikan "amanah" dipertegas juga dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Buhari:
"Barangsiapa diberi amanah oleh Allah, lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya ia dalam keadaan mengkhinati amanahnya, niscaya Allah mengharamkan surga baginya".
Dari riwayat lain, Ibnul Qayyim berkata,
"Barangsiapa yang melalaikan pendidikan anaknya serta meninggalkannya secara sia-sia, berarti ia telah berbuat yang terburuk".

4. Kecerdasan IQ, EQ dan SQ serta Teknologi Otak
Inteligensi merupakan sebuah konsep abstrak tentang kemampuan manusia. Menurut Thurstone Inteligensi (IQ) pada dasarnya terdiri dari 7 kemampuan primer yang dapat dibedakan dengan jelas yaitu: 1) pemahaman verbal, 2) kefasihan menggunakan kata, 3) kemampuan bilangan, 4) kemampuan ruang, 5) kemampuan mengingat, 6) kecepatan pengamatan, dan 7) kemampuan penalaran.
Pandangan lama mempercayai bahwa tingkat kecerdasan intelektual merupakan faktor yang sangat menentukan dalam mencapai prestasi belajar dan kesuksesan hidup. Akan tetapi menurut pandangan kontemporer kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual melainkan juga kecerdasan emosional (EQ). Secara rinci Daniel Goleman mengklasifikasikan kecerdasan emosional (EQ) atas lima komponen: 1) mengenali emosi, 2) mengelola emosi, 3) motivasi diri sendiri, 4) mengenali emosi orang lain, dan 5) membina hubungan. Mencermati kelima komponen tersebut dapat dipahami bahwa kecerdasan emosi sangat dibutuhkan untuk kesuksesan hidup.
Temuan yang paling mutahir mengenai kecerdasan manusia adalah Kecerdasan Spiritual (SQ) oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Kecerdasan Spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Lebih lanjut Zohar menjelaskan bahwa SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi, serta merupakan keseluruhan kompleksitas kecerdasan manusia dari segi kekayaan jiwa dan imajinasinya.
Tentang teknologi otak terdapat riset oleh Andrew Newberg dan Eugene D’Aquili yang meneliti neurobiology spiritualitas, serta riset James Austin menunjukan titik temu, bahwa spiritualitas dan kecenderungannya manusia untuk menjadi manusia spiritualitas ternyata merupakan bawaan (nature) yang sengaja disiapkan oleh sang pencipta. Peneliti Ramachandran tentang otak menyebut adanya daerah tertentu otak (lobus temporalis) yang fungsinya berkaitan dengan kegiatan spiritualitas dan disebutnya sebagai “Got Spot” (Titik Tuhan) karena daerah ini akan terangsang dengan memunculkan pengalaman mistis.
Taufik Pasiak ahli anatomi system saraf otak, menguraikan bahwa di bagian otak (hippocampus) yang ada pada bagian pusat dari penampang otak adalah system yang paling berperan dalam mengurus spiritualitas.
Dari uraian para ahli tentang teknologi otak, ternyata terdapat bagian otak yang mengurus perihal kecerdasan spiritualitas, dan kecerdasan tersebut merupakan bawaan (nature) yang dengan sengaja diberikan Tuhan kepada manusia. Sesungguhnya Allah sendiri telah menguji kecerdasan spiritual yakni seperti dijelaskan pada (QS. Al-A’raaf : 172)
Artinya : Ketika Aku menciptakan anak cucu Adam, Aku mengambil kesaksian (membuat perjanjian) dengan jiwa mereka; “Bukankah Aku ini Tuhanmu?’. Berkatalah (sang jiwa); ‘Ya” (Engkaulah Tuhan kami), dan (kami) memegang penyaksian ini hingga hari kiamat nanti.

5. Pengembangan Moral dan Nilai Agama
H. Mas‘oed Abidin dalam tulisannya “ Mengembangkan Moral dan Nilai-Nilai Agama Islam pada Pendidikan Anak Usia Dini” menjelaskan upaya yang mesti dilakukan untuk pembelajaran anak usia dini yakni: 1) Pendidikan dengan nuansa surau, 2) Mengajak, mendidik, dan mengamalkan Islam, dan Meneladani pribadi Nabi Muhammad SAW. Upaya-upaya tersebut penjelasanya adalah:
a) Pendidikan dengan Nuansa Masjid/Surau
Masjid dan Surau adalah suatu institusi yang khas bagi umat masyarakat Islam, fungsinya bukan hanya sekedar sebagai tempat shalat, tetapi juga sebagai tempat melaksanakan pendidikan bagi anak-anak. Terdapat enam unsur yang perlu diperhatikan untuk membentuk anak menjadi mandiri dan berprestasi dalam pendidikan bernuansa surau antara lain: 1) Iman, 2) Ilmu, 3) Kerukunan, Ukhuwah dan Interaksi, 4) Akhlaq, Moralitas sebagai Kekuatan Ruhiyah, 5) Sikap Gotong-royang (Ta‘awun), dan 6) Menjaga lingkungan sebagai Sosial Capital, menerapkan Teknologi.
b) Mengajak, Mendidik dan Mengamalkan Islam
Peran guru dalam mendidik anak usia dini adalah ibarat memberikan tetesan air di padang gersang, yang akan memberikan harapan kesejukan. Tugas guru semestinya dilaksanakan dengan penuh keikhlasan sebagai suatu pengabdian mulia yang hanya mengharapkan keridhoan Allah semata.
Keikhlasan yang diberikan guru akan membentuk umat jadi pintar, beriman, berahklaq, berilmu, beramal baik, membina diri, kemaslahatan umat dan keluarga, menjadi panutan, ibadahnya teratur, shaleh pribadi dan sosial, beraqidah tauhid yang shahih dan istiqomah.
c) Meneladani Pribadi Nabi Muhammad SAW
Para Guru hendaknya dalam keseharian dalam pembelajaran selalu meneladani kehidupan Nabi yakni: Akhlaq Islami, Aqidah Tauhid yang shahih, kesalehan dan keyakinan kepada hari akhirat. Dalam Surat Al Ahzab ayat 21 dijelaskan :
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
Tidak diragukan lagi bahwa guru muslim yang punya kepribadian baik serta uswah hidup yang terpuji akan mampu melukiskan kesan positif dalam diri anak. Alat teknologi modern tidak akan pernah mampu mengambil alih peranan guru dalam pematangan sikap pribadi anak. Sifat-sifat guru yang dituntut bagi anak usia dini adalah memiliki sifat jujur, menepati janji dan amanah, ikhlas dalam perkataan dan perbuatan, merendah diri (tawadhu‘), sabar, tabah, cekatan, lapang dada, pemaaf dan toleransi, menyayangi murid dan mengutamakan kepentingan orang banyak dengan sikap pemurah dan berani bertindak.
6. Jenis Permainan yang disyariatkan
Sebagian besar ahli pendidikan telah bersepakat tentang pentingnya bermain, serta peranannya dalam menumbuhkan potensi anak baik jasmani, intelektual, tingkah laku maupun sosial. Dalam bidang pengembangan intelektual anak, hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak kecil yang memiliki kesempatan untuk bermain, pertumbuhan intelektualnya lebih cepat dan lebih berkembang daripada mereka yang tidak diberi kesempatan dan peluang. Jenis permainan yang dipandang Islami yang disyariatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan memperhatikan hukum-hukum syara.
Secara rinci jenis-jenis permainan tersebut antara lain :
a. Meloncat-loncat atau menari, jenis permainan ini kususnya untuk anak laki-laki, Rasulullah saw melakukan bermain dan menari dengan tombak pada acara hari raya dan pada kesempatan-kesempatan tertentu. Rasulullah saw melakukan jenis permainan ini di masjid. Permainan ini mengandung unsur kejantanan dan kepahlawanan.
b. Berlari-lari, Rasulullah saw pernah melakukan bersama Siti Aisyah pada saat melakukan perjalanan. Telah disebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah membariskan putra-putra Abbas r.a., mendorong mereka untuk berlomba saling mendahului, lalu beliau meberikan hadiah. Permainan ini untuk membangkitkan semangat bersaing dengan sehat diantara anak-anak. Saling memberi hadiah mempunyai pengaruh yang baik terhadap anak.
c. Piknik/Karya Wisata, permainan ini sangat baik bagi anak-anak dengan tujuan agar anak mengenal dunia sekelilingnya. Hal lain anak-anak akan merasa senang dan gembira dengan piknik, disisi lain akan meningkatkan kepekaan sosial, kebersamaan, kekompakan, peka terhadap lingkungannya.
d. Menulis, Berenang dan Memanah Rasulullah saw bersabda, “Hak anak dari seseorang ayahnya ialah hendaknya ayah mengajarkannya menulis, berenang dan memanah, dan memberi rizki yang halal.” (HR at-Tirmidzi). Menulis, berenag dan memanah merupakan tiga jenis permainan yang intinya mengembangkan keseimbangan perkembangan otak kiri dan otak kanan. Menulis, berenang dan memanah adalah suatu kegiatan motorik kasar dan berinteraksi langsung dengan kemampuan otak kiri dan otak kanan.
e. Bermain boneka, Siti Aisyah r.a pada masa kecilnya memiliki mainan yaitu boneka kuda-kudaan, dan Rasulullah tidak melarangnya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud. Berdasarkan hadits memberikan mainan berupa boneka tidak dilarang, orang tua hendaknya memilihkan mainan boneka khususnya untuk anak-anak perempuan.
f. Bermain Ayun-ayunan, Permainan tersebut termasuk permainan yang diperbolahkan dan pernah ada pada masa Rasulullah saw. Dalam satu riwayat yang diterangkan oleh Imam Baihaqi dinyatakan bahwa Siti Aisyah r.a. pernah bermain ayun-ayunan sebelum Nabi saw. tidur bersama dengannya. Jenis permainan ini khususnya untuk anak laki-laki.
g. Bermain Pasir, jenis permainan ini adalah jenis permainan yang sangat disukai anak-anak tanpa rasa bosan. Jenis permainan ini termasuk permainan yang diperbolehkan secara syariat. Ada satu riwayat bahwa Rasulullah saw. Melewati anak-anak yang sedang bermain-main dengan pasir, sebagian sahabat mencoba melarang mereka, lalu Rasulullah saw. Mengatakan: “Biarkan mereka, karena pasir adalah temannya anak-anak”.
h. Melukis/Mewarnai, termasuk juga yang diperbolehkan yang penting yang dilukis adalah mahluk tidak bernyawa.
Berdasarkan uraian diatas bahwa jenis permainan yang disyariatkan oleh Islam ternyata banyak pilihan dan banyak pula manfaatnya bagi perkembangan kecerdasan anak. Jenis-jenis permainan tersebut anak akan berkembang seluruh potensinya, disamping memenuhi kegemaran atau kegembiraannya sewaktu bermain. Dengan bermain anak akan merasakan suasana bebas, lepas dari suatu tekanan-tekanan tertentu.
7. Manfaat dan nilai-nilai permainan bagi Anak
Bermain bagi anak adalah sesuatu yang sangat menyenangkan, dan anak tidak akan pernah bosan dengan permainannya. Bermain bagi anak memiliki manfaat dan nilai-nilai. Manfaat dan nilai-nilai tersebut antara lain :
a. Nilai-nilai Jasmaniah (fisik)
Permainan yang efektif merupakan suatu yang mendesak bagi pertumbuhan otot-otot anak. Melalui permainan ini anak akan belajar berbagai ketrampilan.
b. Nilai Pendidikan
Melalui permainan anak akan belajar mengenal banyak hal tentang berbagai peralatan. Ia juga akan belajar mengenal berbagai bentuk dan warna serta mengenal ukuran. Melalui hal ini seringkali anak akan juga memperoleh berbagai informasi yang tidak bisa ia dapatkan melalui sarana lain.
c. Nilai Kemasyarakatan (sosial)
Melalui permainan ini, anak akan belajar bagaimana membangun hubungan sosial kemasyarakatan dengan orang lain dan bagaimana berinteraksi dengan mereka secara baik. Ia juga bisa belajar bekerjasama dan bergaul dengan orang dewasa dengan cara memberi dan menerima.
d. Nilai Akhlak (moral)
Melalui permainan ini anak bisa belajar dasar-dasar konsep salah dan benar, sebagaimana juga ia belajar mengenai sebagian dari timbangan-timbangan akhlak, seperti keadilan, kejujuran, amanah, menahan diri, serta spirit sportifitas.
e. Nilai Kreativitas (Inovasi)
Melalui permainan anak juga bisa mengekspresikan potensi-potensi kreativitasnya serta mengeksperimenkan gagasan-gagasan yang dimilikinya.
f. Nilai Personalitas
Melalui permainan, anak juga bisa menyingkap banyak hal mengenai personalitas dan identitas jati dirinya, seperti mengetahui kemampuan dan kecakapannya dengan cara berinteraksi dengan teman-teman lain dan membandingkan mereka dengan dirinya. Disamping itu anak juga bisa belajar berbagai persoalannya dan bagaimana cara mengatasinya.

g. Nilai Kuratif
Melalui permainan, seorang anak bisa melenyapkan ketegangan yang justru akan melahirkan berbagai keterbelakangan. Oleh karena itu kita temukan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang penuh dengan belenggu, perintah dan larangan akan melakukan kegiatan permainan yang lebih banyak daripada anak-anak yang lainya. Permainan juga menjadi salah satu sarana terbaik untuk menghilangkan rasa permusuhan.
8. Pembinaan Kepribadian pada Anak
Kepribadian yang seimbang mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individu anak. Kepribadian ini tidak akan sempurna kecuali jika diarahkan, dibina dan dibimbing dari segala aspeknya. Secara lengkap aspek-aspek kepribadian yang dibina antar lain:
a. Pembinaan Aqidah : Mengajarkan anak dengan Kalimat Tauhid, Mencintai Allah, dan merasa diawasi oleh-Nya, Menanamkan kecintaan terhadap Nabi, Mengajarkan Al Qur’an, dan Menanamkan kerelaan berkorban.
b. Pembinaan Ibadah : Mengajarkan Shalat, Mendatangi Masjid/Surau, Membelajarkan Puasa, Membelajarkan Haji, dan Membelajarkan Zakat
c. Pembinaan Kemasyarakatan : Mengajak anak mendatangi majlis, Menyuruh anak melaksanakan tugas rumah, Membiasakan mengucapkan salam, Menjenguk anak yang sakit, dan Menghadiri acara perayaan atau hari besar agama.
d. Pembinaan Moral : Mengajarkan Adab Sopan Santun, Mengajarkan Kejujuran, Mengajarkan Menjaga Rahasia, Mengajarkan Menjaga Amanah, dan Mengajarkan lapang dada, Tidak mendengki.
e. Pembinaan Perasaan : Ciuman kasih sayang kepada anak-anak, Bermain dan bercanda, Hadian dan penghargaan, Membelai kepala anak, Menyambut akan dengan baik, dan Mencari tahu keadaan anak dan menanyakanya
f. Pembinaan Jasmani : Berenang, Berlari, Melompat, dan Perlombaan
g. Pembinaan Intelektual : Menanamkan kecintaan terhadap ilmu, Tugas hafalan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, Mengajarkan Bahasa Asing, Membimbing anak sesuai dengan keahlianya, dan Pemanfaatan perpustakaan
h. Pembinaan Kesehatan : Berenang, Bermain, Memotong Kuku, Bersiwak, Membiasakan Berdo’a ketika makan dan minum, Tidur berbaring pada sisi kanan dan Tidur sesudah Isya’, dan Pengobatan alami/Herbal yang disunahkan Nabi saw.
C. Penutup
Reformasi pendidikan kususnya dengan Internalisasi nilai-nilai Islam dalam pendidikan anak usia dini menjadi sangat strategis, karena merupakan proses penghayatan atau penguasaan secara mendalam tentang nilai-nilai Islam yang dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku keagamaan melalui pendidikan dan pengajaran.
Internalisasi atau penghayatan/penguasaan nilai nilai islam dapat dimulai dengan jenis-jenis permainan yang sudah disyariatkan oleh Nabi Muhammad saw., yang penting orang tua mengawasi jenis-jenis permainan yang dilakukan anak, karena setiap jenis permainan akan memiliki dampak pada perkembangan kejiwaan anak dikemudian hari.
Untuk itu sebagai guru ataupun orang tua juga harus membekali pada pembinaan kepribadian anak tentang aqidah, ibadah, hubungan kemasyarakatan, moral, perasaan (kepekaan rasa), kesehatan jasmani, intelektual dan kesehatan anak. Pendidikan aqidah dan akhlaq, membawa umat kepada bertaqwa. Janji Allah SWT sangat tepat. (QS. 7 Al-A’raaf : 96)
Artinya: ” apabila penduduk negeri beriman dan bertaqwa dibukakan untuk mereka keberkatan langit dan bumi.“

Sehingga anak dikemudian hari akan seimbang perkembangannya baik kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) maupun kecerdasan spiritualnya (SQ). Dan pada akhirnya anak siap mengadapi dunianya baik berupa tantangan maupun peluang dalam kehidupanya.
DAFTAR PUSTAKA

Hasan Shalih Baharits, Adnan (1990), Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-Laki. Jakarta: Gema Insani Press
Muhammad Suwaid, (2009), Mendidik Anak Bersama Nabi, Surakata: Pustaka Arafah
Nurani Sujiono, Yuliani, (2009), Konsep Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : Indeks
Muhaimin, (2008). Paradigma Pendidikan Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya Offset
Amir Faisal, Yusuf, (1995). Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta : Gema Insani Press
Pasiak, Taufik, (2007). Brain Management for Self Imrovement. Bandung: Mizan Media Utama
Mar’at, Samsunuwiyati, (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Rosdakarya
Desmita, (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya
Pratisti, Wiwien Dinar, (2008). Psikologi Anak Usia Dini. Jakarta : Indeks
Al Qur’an Digital Versi 2.1. Modified 3 Agustus 2004
http://www.pnfi.depdiknas.go.id, H. Masoed Abidin, Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama Islam pada Pendidikan Anak Usia Dini, diunduh, 18 Februari 2010
http://sofyanpu.blogspot.com, Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd, Pembelajaran nilai-etika untuk Anak Usia Dini, diunduh, 18 Februari 2010
http://is-is.facebook.com, Wasmin, Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini, diunduh, 18 Februari 2010